1.1.
Masa Demokrasi Liberal di Indonesia (1950-1959)
Secara etimologi demokrasi berasal dari
kata demos yang berarti rakyat dan kratos
yang berarti pemerintahan atau kekuasaan.
Sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Indonesia
sendiri mengalami beberapa periodeisasi penerapan demokrasi. Salah
satunya pada tahun
1950 yang menerapkan demokrasi
liberal.
Setelah dibubarkannya RIS, sejak tahun 1950,Negara RI dan Negara bagian lainnya yang sebelumnya terpecah didalam suatu bingkai
Negara Federal dipersatukan kembali menjadi sebuah
Negara yang berbentuk Kesatuan. Sesuai dengan Undang – Undang Dasar Sementara
(UUDS 1950) yang bernafaskan liberal, maka dilaksanakanlah demokrasi liberal di Indonesia. Demokrasi Liberal disebut juga demokrasi konstitusional adalah system politik yang melindungi secara konstitusional hak–hak individu dari kekuasaan pemerintah. Indonesia
dibagi manjadi 10
Provinsi yang mempunyai otonomi dan berdasarkan Undang – Undang Dasar Sementara tahun 1950. Pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri (kabinet) yang
dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen ( DPR ).
Sistem politik pada masa demokrasi
liberal telah mendorong untuk lahirnya partai-partai politik,
karena dalam system kepartaian menganut sistem multi
partai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer gaya barat dengan sistem multi
partai yang dianut, maka partai-partai inilah yang
menjalankan pemerintahan melalui pertimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 –
1959. PNI dan Masyumi merupakan partai yang
terkuat dalam DPR,
dan dalam waktu lima tahun( 1950 -1955 ) PNI dan Masyumi silih berganti memegang kekuasaan dalam empat kabinet.
1.2. Kabinet Indonesia Masa Demokrasi Liberal ( 1950 – 1959 )
Masa demokrasi liberal banyak partai politik yang
ikut berkiprah dalam pemerintahan
di Indonesia. Akan tetapi partai – partai terkuat saling mengambil alih kekuasaan yang mengakibatkan seringnya terjadi pergantian kabinet. Pada masa demokrasi liberal ini terjadi tujuh kali
pergantian kabinet, yaitu :
2.2.1
Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
Kabinet
Natsir merupakan kabinet Negara Kesatuan Republik Indonesia pertama
setelah bentuk negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) dibubarkan. Kabinet Natsir merupakan kabinet koalisi yang
dipimpin oleh Masyumi. Sedangkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang merupakan
partai kedua terbesar saat itu lebih memilih kedudukan sebagai oposisi. PNI
menolak ikut serta dalam kabinet, karena merasatidak diberi kedudukan yang
sesuai dengan kekuatan yang dimiliknya.
Kabinet ini
dipimpin oleh Muhammad Natsir dan mendapat dukungan dari tokoh-tokoh terkenal
yang memiliki keahlian dan reputasi tinggi pada kancah politik Indonesia saat
itu, diantaranya adalah Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Mr. Asaat, Mr. Moh Roem,
Ir. Djuanda dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Program
kerja kabinet Natsir :
1.
Menggiatkan atau meningkatkan usaha
keamanan dan ketentraman.
2.
Menguatkan konsolidasi dan
menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.
Menyempurnakan organisasi Angkatan
Perang.
4.
Mengembangkan dan memperkuat ekonomi
rakyat sebagai fondasi ekonomi nasional.
5.
Memperjuangkan penyelesaian masalah
Irian Barat.
Hasil kerja
:
1.
Memetakan politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif.
2.
Masuknya Indonesia menjadi anggota PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa)
3.
Dilaksanakannya perundingan masalah
Irian Barat dengan pihak Belanda.
Kendala / Masalah
yang dihadapi :
1.
Upaya memperjuangkan masalah Irian
Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
2.
Timbul masalah keamanan dalam negeri
yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, yaitu :
a.
Gerakan DI/TII
Gerakan DI (Darul
Islam) dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang pada saat itu mempunyai keinginan
yang tinggi untuk mewujudkan cita-citanya mendirikan Negara Islam Indonesia
(NII). Bahkan cita-citanya ini diwujudkan melalui proklamasi yang
dikumandangkan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisayong, Jawa Barat. Atas
cita-citanya ini, gerakan ini banyak melakukan pemberontakan pada masa kabinet
Natsir diberbagai wilayah Indonesia, seperti di Jawa Barat, Sulawesi Sealatan, Aceh, Jawa Tengah, dan
Kalimantan Selatan
b.
Gerakan Andi Azis
Gerakan ini
merupakan pemberontakan Andi Aziz di makassar (Sulawesi Selatan). Andi Aziz
adalah kapten perwira Koninklije Nederland Indische Leger (KNIL) yang melakukan
pemberontakan disana dengan menyerang APRIS karena menginginkan terbentuknya
Negara Indonesia Selatan (NIT).
c.
Gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil)
Gerakan ini
dipimpin oleh Kapten Raymon Westerling yang merupakan bekas komandan pasukan
KNIL bentukan Belanda di Indonesia. Tujuan gerakan ini adalah untuk
mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara
tersendiri pada negara-negara bagian RIS.
d.
Gerakan RMS (Republik Maluku Selatan)
Gerakan ini
dipelopori oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil (mantan jaksa Agung
Negara Indonesia Timur). Gerakan ini diawali
dari ketidaksetujuannya atas terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ketidaksetujuannya ini dikarenakan adanya penggabungan daerah-daerah
negara Indonesia Timur menjadi wilayah kekuasaan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Sehingga ia berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dar NIT
(Negara Indonesia Timur) yang menjadi bagian RIS dan mendirikan RMS (Republik
Maluku Selatan). Bahkan, pada tanggal 24 April 1950, Soumokil memproklamasikan
berdirinya RMS.
Berakhirnya
Kekuasaan Kabinet Natsir :
Penyebab
lainnya adalah seringnya mengeluarkan Undang Undang Darurat yang mendapat
kritikan dari partai oposisi.Walaupun demikian terdapat beberapa prestasi yang
sempat ditorehkan pada masa kabinet ini seperti di bidang ekonomi, ada Sumitro
Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional,keberhasilan Indonesia
masuk PBB serta berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama
kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Pergantian
Kabinet Natsir ke Kabinet Sukiman :
Setelah kabinet Natsir mengembalikan
mandatnya kepada presiden, presiden menunjuk
Sartono (ketua PNI) menjadi formatur. Hampir satu bulan Sartono berusaha
membentuk kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi. Namun, usaha tersebut
mengalami kegagalan, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden
setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden kemudian
menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai formatur. Walaupun
mengalami sedikit kesulitan, namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet
koalisi anatar Masyumi dan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi itu
dipimpin oleh Sukiman dan kemudian dikenal sebagai kabinet Sukiman.
2.2.2
Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
Presiden
kemudian menunjuk Sukiman (Masyumi) dan Djojosukarto (PNI) sebagai
formatur. Awalnya kabinet ini banyak
mengalami kesulitan namun akhirnya mereka berhasil membentuk kabinet koalisi
antar Masyumi dengan PNI dan sejumlah partai kecil. Kabinet koalisi ini dipimpin oleh Sukiman,
sehingga dikenal dengan kabinet Sukiman. Kabinet ini, memiliki 7 pasal yang
hampir sama dengan kabinet Natsir, hanya saja beberapa hal mengalami perubahan
dalam skala prioritas.
Program Kerja :
1.
Bidang keamanan, menjalankan tindakan-tindakan
yang tegas sebagai negara hukum untuk menjamin keamanan dan ketentraman.
2.
Sosial-ekonomi,mengusahakan
kemakmuran rakyat secepatnya dan memperbaruhi hukum agraria agar sesuai dengan
kepentingan petani. Juga mempercepat usaha penempatan bekas pejuang di lapangan
usaha.
3.
Mempercepat persiapan-persiapan
pemilihan umum.
4.
Di bidang politik luar negeri:
menjalankan politik luar negri secara bebas-aktif serta memasukkan Irian Barat
ke dalam wilayah RI secepatnya.
5.
Di bidang hukum, menyiapkan
undang-undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama,penetapan
upah minimum,dan penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil Kerja :
Tidak
terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi
perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program
Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk
menjamin keamanan dan ketentraman. Banyak hambatan dalam kabinet Sukiman
membuat hasil kerja kabinet ini tidak maksimal.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
1.
Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia
Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian
bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia
berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat
pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan
kepentingan Amerika.
Tindakan
Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang
bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan
Indonesia ke dalam blok barat.
2.
Adanya krisis moral yang ditandai
dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan
kegemaran akan barang-barang mewah.
3.
Masalah Irian barat belum juga
teratasi.
4.
Hubungan Sukiman dengan militer
kurang baik, yang menyebabkan keamanan dan ketentraman semakin tidak stabil
yang tampak dengan kurang tegasnya
tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan
kabinet :
Kegagalan
kabinet Sukiman dianilai dalam penangganan masalah keamanan dalam negeri,
memihaknya Indonesia kepada Blok Barat dengan menandatangani Mutual Security
Act (MSA) dengan pemerintah Amerika Serikat. Hal ini memicu munculnya
pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik
dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa
Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.
2.2.3 Kabinet Wilopo (3 April
1952 – 3 Juni 1953)
Setelah
kabinet Sukiman berakhir, pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno
menunjukan Sidik Djojosukarto ( PNI ) dan Prawoto Mangkusasmito ( Masyumi )
menjadi formatur, namun gagal. Kemudian menunjuk Wilopo dari PNI sebagai
formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di
bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo,sehingga bernama kabinet Wilopo. Kabinet
ini mendapat banyak dukungan dari PNI,
Masyumi, PSI.
Program :
- Program dalam negeri : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD). Program untuk menyelenggarakan pemilu ini merupakan program yang diutumakan dalam kabinet ini.
- Meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan taraf pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan rakyat.
- Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta konsisten menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Hasil :
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1. Adanya kondisi krisis ekonomi yang
disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara
kebutuhan impor terus meningkat. Penerimaan negara menjadi menurun. Dengan
keadaan ekonomi yang semikin silit dan upaya pembentukan militer yang memenuhi
standart profesional, maka anggota militer yang tidak memnuhi syarat
(berpendidikan rendah) perlu dikemablikan kepada masyarakat. Hal ini tentu
menimbulkan protes dikalangan militer. Kalangan
yang terdesak dipimpin oleh Kolonel Bambang Sugeng menghadap presiden
dan mengajukan petisi penggantian KSAD Kolonel A.H. Nasution. Hal ini
menimbulkan kericuhan dikalagan militer dan menjurus kearah kericuhan.
- Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
- Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
- Munculnya sentimen kedaerahan akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan.
Terjadi
Peristiwa 17 Oktober 1952.
Adanya konflik ditubuh angkatan darat yang diawali dari upaya pemerintah
untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak
senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan
kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern
dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang
ditentang oleh Kolonel Bambang Sugeng sehingga ia mengirim petisi mengenai
penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi
pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen.
Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan
Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut
dibubarkannya parlemen. Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa
demonstrasi rakyat terhadap presiden yang menuntuk untuk pembubaran
parlemen serta meminta presiden memimpin langsung pemerintahan samapai
diselenggarakannya pemilu. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution
juga menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi
saran tersebut ditolak dengan alasan bahwa presiden tidak mau m,enjadi
dikatator, tetepi khawatir juga apabila tuntutan tentara dipenuhi presiden
akan ditunggangi mereka.
Dalam
perkembangan selanjutnya muncul golongan yang anti peristiwa 17 Oktober 1952
dari Angkatan Dart sendiri. Menteri Pertahanan, Sekertaris Jendral Ali
Budihardjo dan sejumlah perwira yang merasa bertanggung jawab atas peristiwa 17
Oktober 1952 diantaranya KSAP T.B. Simatupang dan KSAD A.H. Nasution
mengundurkan diri dari jabatanya. Kedudukan Nasution kemudian digantikan oleh
Bambang Sugeng. Walaupun peristiwa 17 Oktobert 1952 tidak menyebabkan jatuhnya
kabinet Wilopo, tetapi peristiwa ini mengakibatkan menurunnya kepercayaan
masdyarakat terahadap pemerintah.
6. Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai
persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Perkebunan tersebut adalah
perkebunan milik orang asing, yaitu perkebunan kelapa sawit, teh, dan tembakau.
Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk
kembali ke Indonesia dan mengembalikan lahan perkebunan mereka kembalai serta memiliki
tanah-tanah perkebunan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Akibat
peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani
Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Peristwa Tanjung Morawa ini dijadikan sarana
oleh kelompok yang antikabinet dan pihak oposisi lainnya untuk mencela
pemerintah. Akibatnya
Kabinet wilopo mengembalikan mandatnya kepada presiden pada tanggal 2 Juni 1953
tanpa menunggu mosi itu diterima oleh parlemen.
2.2.4
Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Dua bulan
setelah Kabinet Wilopo mundur, terbentuk kabinet barau yaitu Kabinet Ali
Satroamijoyo (PNI) sebagai Perdana Menterinya.Kabinet ini merupakan kabinet
terakhir sebelum Pemilihan Umum I ,kabinet ini sering disebut Kabinet
Ali-Wongso atau Kabinet Ali-Wongso-Arifin. Dalam kabinet ini Masyumi sebagai
partai kedua terbesar dalam parlemen tidak turut serta dan sebagai penggantinya
Nahdatul Ulama (NU) muncul sebagai kekuatan politik baru. Sehingga, kabinet Ali
Sastroamijoyo ini merupakan gabungan dari PNI dan NU.
Program Kerja :
Meningkatkan
keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.- Pembebasan Irian Barat secepatnya.
- Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
- Penyelesaian Pertikaian politik
Hasil Kerja :
1.
Disusunnya kerangka panitia
pelaksanaan pemilu.
2.
Persiapan Pemilihan Umum untuk
memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
3.
Suksesnya Konferensi Asia-Afrika
tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi
:
1.
Masalah keamanan di daerah yang
belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan,
dan Aceh. Di Aceh, kabinet Ali mendapat kesulitan dari Persatuan Ulama Seluruh
Aceh (PUSA) pimpinan Daud Beureueh yang menuntut Aceh sebagai provinsi dan
meminta perhatian penuh atas pembangunan daerah. Daud Beureueh menilai bahwa
tuntutan itu diabaikan, ia menyatakan Aceh akan menjadi bagian dari NII (Negara
Islam Indonesia) buatan Kartosuwiryo (September 1953). Usaha meningkatkan
kemakmuran mengalami kegagalan karena inflasi dan korupsi yang meningkat.
2.
Terjadi Peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya
kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari
Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan
permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Pengunduran Bambang Sugeng dikarenakan tugasnya sebagai KSAD dinilai
terlalu berat. Sebagai gantinya menteri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang
Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses
pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di
lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955
tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta.
Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
3.
Keadaan ekonomi yang semakin
memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
4.
Memudarnya kepercayaan rakyat
terhadap pemerintah akibat banyaknya masalah-masalah yang belum dapat
diselesaikan.Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU
memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955
yang diikuti oleh partai lainnya.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Munculnya
konflik antara PNI dan NU yang menyebabkan NU memutuskan untuk menarik dukungan
kepada pemerintah dan menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli
1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Adanya hal ini memaksa Ali Sastroamijoyo
harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.
2.2.5
Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Kabinet Ali
digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap bertugas pada periode 12 Agustus
1955- 24 Maret 1956. Kabinet ini demosioner pada 1 Maret 1956 seiringan dengan
diumumkannya hasil pemilihan umum pertama Indonesia. Kabinet ini dipimpin oleh
Burhanudin Harahap dari Masyumi.
Program Kerja :
Mengembalikan
kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan
masyarakat kepada pemerintah.- Melaksanakan pemilihan umum secara baik, maksimal, dan secepat mungkin menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru.
- Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi.
- Perjuangan pengembalian Irian Barat.
- Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
Hasil Kerja :
1.
Penyelenggaraan pemilu pertama yang
demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955
(memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya
27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh
suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Setelah hasil pemungutan
suara diumumkan dan pembagian kursi di DPR diumumkan, maka tanggal 2 Maret
1956, Kabinet Burhanuddin Harahap mengundurkan diri, menyerahkan mandatnya
kepada Presiden, untuk dibentuk kabinet baru berdasarkan hasil pemilihan umum.
Setelah itu kabinet Burhanudin meletakkan jabatan dan kemudian dibentuk kabinet
baru yang sesuai dengan hasil pemilihan umum.
2.
Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan
masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
3.
Pemberantasan korupsi dengan
menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer, salah satunya
adalah menangkap Mr. Djody Gondokusumo atas kasus korupsi di Departemen
Kehakiman.
4.
Terbinanya hubungan antara Angkatan
Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
5.
Menyelesaikan masalah peristiwa 27
Juni 1955 dengan mengangkat kembali Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan
Darat pada 28 Oktober 1955.
Kendala / Masalah yang dihadapi :
Banyaknya
mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
Serta banyaknya perseteruan antara para pemenang pemilu yang menyebabkan sidang
parlemen yang menjadi Deadlock.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Dengan
berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu
tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet, sehingga kabinet pun
jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen
yang baru pula.
Sebenarnya
kabinet ini seandainya terus bekerja tidak apa-apa selagi tidak ada mosi tidak
percaya dari parlemen. Tetapi secara Etika politik demokrasi parlementer,
kabinet ini dengan sukarela menyerahkan mandatnya, setelah berhasil
melaksanakan Pemilu baik untuk anggota DPR maupun konstituante.
2.2.6
Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet Ali
Sastroamidjojo II, sering pula disebut Kabinet Ali-Roem-Idham, bertugas pada
periode 24 Maret 1956 – 14 Maret 1957. Kabinet Ali kembali diserahi mandat pada
tanggal 20 Maret 1956 yang merupakan koalisi antara PNI, Masyumi, dan NU.
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Program Kerja :
Program
kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun
yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
Perjuangan
pengembalian Irian Barat ke Indonesia.- Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
- Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai serta menyehatkan dan menyeimbangkan anggaran belanja dan keuangan negara.
- Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
- Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
1. Pembatalan
KMB, pada tanggal 3 Mei 1956 untuk memperbaiki masalah ekonomi yang mengalami
kesulitan, disusul oleh munculnya gerakan separatisme yang dikenal dengan
PRRI/Permesta.
- Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
- Melaksanakan keputusan KAA.
Hasil Kerja :
Mendapat
dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning
and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB,
beralihnya perusahaan Belanda menjadi
milik Tionghoa (Cina), kepentingan Belanda diperlakukan sesuai dengan hukum
yang berlaku di Indonesia.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1.
Berkobarnya semangat anti Cina di
masyarakat yang tidak senang melihat kedudukan istimewa golongan ini dalam
perdagangan. Sehingga perkelahian dan pengrusakan terjadi di beberapa kota.
2.
Muncul pergolakan/kekacauan di
daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme. Pergolakan daerah itu mendapat dukungan dari
beberapa panglima TNI-AD, mereka merebut kekuasaan di daerah dengan cara
membentuk dewan militer, seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat pada tanggal
20 Desember 1956, Dewan Gajah di Sumatera Utara pada tanggal 22 Desember 1956.
Dewan Garuda di Sumatera Selatan dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
3.
Pembatalan KMB oleh presiden
menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di
Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina
karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat
melindungi pengusaha nasional.
4.
Timbulnya perpecahan antara Masyumi
dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya
kepada presiden sesuai dengan tuntutan daerah. Sedangkan Ali Sastroamijoyo
berpendapat bahwa kabinet tidak wajib mengembalikan mandatnya hanya karena
tuntutan daerah. Kemudian, tidak terima akan hal ini, pada bulan Januari 1957
Masyumi menarik semua menterinya
dari kabinet Ali Sastroamijoyo II. Peristiwa itu sangat melemahkan kedudukan
Ali Sastroamijoyo sehingga pada pada tanggal 14 Maret 1957, Ali Satroamijoyo
akhirnya menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Banyaknya
kendala-kendala dalam tubuh Kabinet Ali Sastroamijoyo II dan adanya
pertentangan antara PNI dan Mayumi yang membuat Masyumi menarik para
menteri-mentrinya untuk keluar dari Kabinet, membuat Ali Sastroamijoyo menjadi
lemah kedudukannya. Ditambah dengan banyaknya kedaaan yang sangat kacau dalam
negara, membuat Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya kepada presiden.
Akhirnya
atas dasar keadaan draurat itu, presiden menunjuk dirinya sendiri menjadi
pembentuk kabinet. Presiden membentuk kabinet baru yang disebut Kabinet Karya
dan menunjuk Ir. Djuanda sebagai Perdana Menteri.
2.2.7
Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet
Karya atau Kabinet Djuanda ini resmi dilantik pada tanggal 8 April 1957 dalam
situasi negara yang sangat memprihatinkan.
Kabinet ini
merupakan zaken kabinet
(kabinet kerja) yaitu kabinet yang tidak berdasarkan atas dukungan dari
perlemen karena kondisi negara yang dalam keadaan darurat, tetapi lebih
berdasarkan pada keahlian yaitu terdiri dari para pakar yang ahli dalam
bidangnya. Kabinet ini dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun
Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan
antara partai politik.
Dibawah
pimpinan Perdana Menteri Ir. Djuanda, terdapat tiga orang wakil Perdana
Menteri, yaitu Hardi, Idham Chalid, dan Leimana. Tugas dari kabinet ini
sangatlah berat terutama menghadapi pegolakan-pergolakan yang terjadi
diberbagai daerah, perjuangan mengembalikan Irian Barat kedalam wilayah
Indonesia dan mengatasi masalah ekonomi
serta keuangan ekonomi yang sangat buruk.
Program Kerja :
Programnya
disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
1.
Membentuk Dewan Nasional dan menampung atau
menyalurkan aspirasi
dari kekuatan-kekuatan nonpartai yang ada di masyarakat.
2.
Normalisasi keadaan Republik
Indonesia.
3.
Melancarkan pelaksanaan pembatalan
persetujuan KMB.
4.
Perjuangan pengembalian Irian
Barat.Mempergiat dan mempercepat proses Pembangunan
Semua
program itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan-pergolakan yang terjadi di
daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta
keuangan yang sangat buruk.
Hasil Kerja :
1.
Mengatur kembali batas perairan
nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957, yang
mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini
menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan
daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. Melalui deklarasi
Djuanda yang berhasil menetapkan lebar
wilayah Indonesia menjadi 12 mil laut diukur dari garis dasar yang
menghubungkan titik-titik terluar dari Pulau Indonesia. Apabila ini diberlakukan, maka wilayah
Indonesia akan terdapat laut bebas seperti Laut Jawa, Laut Flores, dan lain
sebagainya.
2.
Terbentuknya Dewan Nasional
sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan
yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak
untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
3.
Mengadakan Musyawarah Nasional
(Munas) pada tanggal 14 September 1957
untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas
masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan
pembagian wilayah RI dengan tujuan agar dapat menormalisasi keamanan negara.
4.
Diadakan Musyawarah Nasional
Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil
dengan baik.
5.
Pembersihan pejabat-pejabat yang
melakukan korupsi.
Kendala/ Masalah yang dihadapi :
1.
Kegagalan menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di
daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi
terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
2.
Keadaan ekonomi dan keuangan yang
semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi
liberal mencapai puncaknya.
3.
Terjadi Peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap
Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah
tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini
menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
4.
Munculnya Gerakan Perjuangan
Menyelamatkan Negara Republik Indonesia pada tanggal 10 Februari 1958, yang
diketuai oleh Ahmad Husein dan Sumitro Djojohadikusumo. Bersamaan dengan
berdirinya gerakan ini, mereka mengirimkan ultimatum kepada pemerintah yang
berisi tuntutan pembubaran Kbinet Karya dan pembentukan Kkabinet baru yang
dipimpinj oleh Moh. Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Selain itu,
presiden diminta bertindak secara konstitusional agar tuntutan itu dipenuhi
dalam waktu 5 x 24 jam.
Berakhirnya kekuasaan kabinet :
Berakhir
saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi
Terpimpin.
Pada tanggal
10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum agar Kabinet
Djuanda dibubarkan dalam waktu lima kali 24 jam. Presiden ternyata tidak
menghiraukan hal ini sehingga akhirnya Dewan Banteng memproklamasikan
berdirinya “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) dengan
Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menteri. Begitu pula di Sulawesi
dibentuk pemerintahan sendiri yaitu Permesta. Hal itu membuat situasi negara
semakin mengkhawatirkan.Pada tanggal 22 April 1959 dihadapan
Konstituante,Presiden Soekarno berpidato yang isinya menganjurkan untuk kembali
kepada Undang-Undang Dasar 1945.Anjuran Presiden tersebut diberikan kepada
Konstituante selama kurang lebih tiga tahun berdebat tanpa berhasil merumuskan
Undang-Undang Dasar. Juga mengenai anjuran presiden tersebut,Konstituante tidak
berhasil memberikan kata putus dan demikian kuatlah kesan bahwa partai-partai
politik sebagai keseluruhan tidak mampu untuk menembus jalan buntu dengan
cara-cara parlementer.Kabinet inipun akhirnya menjadi demisioner ketika
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sehingga dimulailah
babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.